Pages

Sabtu, 05 Mei 2012


 
PENDAHULUAN
            Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh  bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
            Negara-negara di seluruh dunia secara naluriah ingin diakui keunggulannya. Kehebatan pada satu bidang tertentu atau menguasai hampir semua potensi yang harus dimiliki sebuah negara. Lima negara pemegang hak feto, yakni Perancis, China, Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris terkenal unggul dalam hal persenjataan. Dibalik perang-perang dan permasalahan keamanan yang terjadi pada beberapa negara-negara bertikai, dapat dipastikan lima negara tersebut terlibat. Dalam permasalahan moneter, mereka berperan vital dengan sistem mata uang yang menjadi patokan roda perekonomian dunia.
            Indonesia menjadi negara yang terkena dampak ulah negara-negara besar penguasa perekonomian dan persenjataan, ketika mereka melakukan manuver untuk menunjukkan kelebihan masing-masing. Satu hal keunggulan Indonesia yang mampu menyejajarkannya dengan negara-negara lain, yakni budaya..
            Budaya Indonesia yang plural, merupakan warisan berharga pendahulu untuk bekal sosialisasi dengan budaya-budaya lain di dunia. Budaya tersebut mengalami pergeseran dan penyesuaian baik adaptasi, asimilasi, maupun akulturasi, sehingga menjadi beragam. Masing-masing negara mempunyai budaya lebih tepatnya seni yang diunggulkan, dan diakui oleh hampir seluruh warga dunia, misalnya Kimono, Ikebana, Samurai diidentikan dengan Jepang; Tari Samba adalah Brazil; Piramid adalah Mesir; Menara Eiffel adalah Perancis; dan Kuil Aztec (Suku Indian Inca) adalah Peru, sedangkan untuk Indonesia diidentikkan dengan Kain Batik, Wayang Kulit, dan Borobudur (Sedyawati,1983).
                        Berbagai tulisan telah dihasilkan oleh budayawan serta pemerhati seni tentang wayang. Dari tulisan-tulisan tersebut akan diungkap sedikit ulasan bahwa ketertarikan pada wayang merupakan upaya untuk mempertegas identitas dan inspirasi bangsa Indonesia.


LANDASAN TEORI
1.      Pengertian
            Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “. Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:
1. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia    dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
            Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
            Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Bapitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif.
            Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
            Tiap zaman memiliki ungkapan tersendiri. Untuk saat ini, ungkapan yang tepat untuk seni rupa di Indonesia adalah “sebagian seni rupa tradisi telah mati”, karena kehilangan masyarakat pendukungnya. Sebagian “seni” tersebut masuk dalam kategori “hidup segan mati tak mau” atau dilematis meskipun diupayakan pelestariannya, karena masyarakat pendukungnya berkurang. Seni rupa tradisi mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi sekarang. Dalam upaya tersebut terjadi ketidakseimbangan karena lebih banyak pengaruh kaidah Barat yang masuk daripada unsur tradisi bertahan.
            Pada masa lalu Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mampu mengolah berbagai pengaruh budaya dari luar sehingga tinggi muatan lokalnya, serta membawa pengaruh perkembangan budaya tanpa kehilangan jati diri. Yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan dinding pelindung seni rupa tradisinya (pada akhirnya berkembang menjadi seni rupa modern).
2.      Budaya Seni Rupa Wayang
            Wayang adalah seni pertunjukan berupa drama yang khas. Seni pertunjukan ini meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan lain-lain. Ada pihak beranggapan, bahwa pertunjukan wayang bukan sekedar kesenian, tetapi mengandung lambang-lambang keramat. Sejak abad ke-19 sampai dengan sekarang, wayang telah menjadi pokok bahasan.
            Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli berarti bayang atau bayang-bayang, berasal dari akar yang dengan mendapat awalan wa menjadi kata wayang. Wayang sebagai penggambaran alam pikiran Orang Jawa yang dualistik. Ada dua hal, pihak atau kelompok yang saling bertentangan, baik dan buruk, lahir dan batin, serta halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk mendapat keseimbangan. Wayang juga menjadi sarana pengendalian sosial, misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat humor. Fungsi lain adalah sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang adalah orang terpandang, dan mampu menyediakan biaya besar. Wayang juga menanamkan solidaritas sosial, sarana hiburan, dan pendidikan (Sumaryoto dalam Tim, 2008:2).
            Indonesia memiliki karya seni rupa adiluhung wayang kulit Jawa Wayang menuntut seniman yang juga dalang mampu merambah lintas bidang. Seorang dalang harus mengerti musik; filosofi, karakter rupa wayang hingga seni pentas tradisional. Campuran seni rupa, pentas dan musik semacam ini semakin nyata dalam bentuk wayang beber. Pasalnya, kerap kali sang Dalang yang melukis sendiri kisah-kisah pentasnya di atas selembar kain (Sumaryoto dalam Tim, 2008:2)..
            Tradisi di atas mulai terlupakan saat Indonesia memasuki zaman modern. Seni rupa nasional terus terseok berusaha mengejar kemajuan Barat. Akibatnya, hingga kini seni rupa Indonesia masih berusaha memaksakan diri masuk dalam kerangka pikiran Barat. Kerancuan terjadi saat para perupa Indonesia yang masih gamang; berusaha masuk ke dalam kerangka berpikir Barat yang matang. Seniman-seniman rupa Indonesia sampai sekarang masih menjadi tawanan pemikiran Barat.
            Hal ini sebenarnya menyedihkan karena di masa lalu kita dikenal sebagai bangsa / suku bangsa yang mampu mengolah apapun yang datang dari luar sehingga tinggi muatan lokalnya, berkembanglah kebudayaan tanpa kehilangan jati diri. Dulu ini dimungkinkan karena kita kenal betul tradisi milik kita, sedang di masa kini dalam hiruk pikuk modernisasi, kita kurang mengenal (untuk tak disebut mengabaikan) seni tradisi. Kekurangan ini antara lain bisa diatasi melalui penelitian seni tradisi. Harus diakui dalam dunia penelitian di Indonesia, penelitian seni tradisi kurang mendapat perhatian.




















DAFTAR PUSTAKA
http://aktrismonika.blogspot.com/2009/05/identitas-nasional.html, diakses tanggal 17 oktober        2011.
Sumaryoto. 1990. Ensiklopedia Wayang Purwa I: Proyek Pembinaan Kesenian Direktur   Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Sedyawati, Edi; Darmono, Sapardi Djoko. 1983. Seni dalam Masyarakat Indonesia. PT     Gramedia: Jakarta.
Smith, Anthony D. 2003.  Naionalisme,Teori Ideologi, Sejarah. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sugiarto. 1991. Identitas dan Hakikat Bangsa Kita. Jakarta.
Azra, Azyumardi. 2006. Rejuvenasi Pancasila diTengah Arus Globalisasi. Jakarta : Yayasan       Taman Pustaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar