Pages

Kamis, 23 Februari 2012

Minum Alkohol Mengerutkan Daerah Otak Kritis di Tikus yang Rentan Secara Genetik

 Jumat, 24 Februari 2012 - Pindai otak dari dua strain tikus meminum kuantitas alcohol yang signifikan mengungkapkan pengerutan serius di beberapa daerah otak – namun hanya pada tikus yang tidak memiliki tipe reseptor dopamine tertentu, kimiawi “hadiah” otak. Studi ini, dilakukan di Laboratorium Nasional Brookhaven Departemen Energi AS dan diterbitkan bulan Mei 2012 dalam jurnal Alcoholism: Clinical and Experimental Research, memberikan bukti baru kalau reseptor dopamine ini, yaitu DRD2, berperan protektif terhadap kerusakan otak yang disebabkan alcohol.

“Studi ini jelas menunjukkan interaksi antara factor genetic dan lingkungan dalam menentukan dampak perusak alcohol pada otak, dan didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan peran protektif reseptor D2 dopamin terhadap efek kecanduan alcohol,” kata peneliti   Foteini Delis, seorang ahli neuroanatomi dari Lab Pencitraan Syaraf dan Neurofarmakologi Perilaku di Brookhaven, yang didanai lewat   National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA). Peneliti lain sekaligus ilmuan syaraf Brookhaven/NIAA, Peter Thanos mengatakan kalau, “Studi ini harusnya membantu kita memahami lebih baik peran keanekaragaman genetic pada alkoholisme dan kerusakan otak karena alcohol pada manusia, dan memberi jalan pada strategi pencegahan dan perawatan yang lebih efektif.”
Studi saat ini secara khusus mempelajari bagaimana konsumsi alcohol mempengaruhi volume otak – keseluruhan dan daerah demi daerah – pada tikus normal dan strain tikus yang tidak memiliki gen untuk reseptor D2 dopamine. Separuh dari tiap kelompok minum air putih sementara separuhnya meminum larutan 20 persen etanol selama enam bulan. Kemudian para ilmuan melakukan pindai   magnetic resonance imaging (MRI) pada semua tikus dan membandingkan pindai dari yang meminum alcohol dengan yang meminum air dari tiap kelompok.
Pindai menunjukkan kalau minum alcohol kronik menyebabkan atrofi otak keseluruhan dan pengerutan khusus pada korteks serebral dan thalamus pada tikus yang tidak memiliki reseptor D2 dopamine, namun tidak pada tikus dengan tingkat reseptor normal. Tikus pada kedua kelompok meminum jumlah alcohol yang sama.
 “Pola kerusakan otak ini meniru aspek patologi otak unik pada alkoholik manusia, sehingga penelitian ini memperluas keabsahan menggunakan tikus ini sebagai model mempelajari alkoholisme manusia,” kata Thanos.
 Pada manusia, daerah otak ini sangat penting untuk mengolah lisan, informasi inderawi, dan sinyal motorik, dan untuk membentuk ingatan jangka panjang. Jadi penelitian ini membantu menjelaskan mengapa kerusakan alcohol dapat begitu luas dan merusak.
 “Faktanya hanya tikus yang tidak memiliki reseptor D2 dopamin yang mengalami kerusakan otak dalam studi ini yang menunjukkan kalau DRD2 bersifat protektif terhadap atrofi otak dari paparan alcohol kronis,” kata Thanos. “Begitu pula, temuan ini menunjukkan kalau level DRD2 lebih rendah dari normal dapat membuat individu lebih rentan pada dampak merusak alcohol.”
 Hal itu pada gilirannya memberikan orang dengan level DRD2 efek ganda kerentanan alcohol: studi sebelumnya yang dilakukan oleh Thanos dan rekan-rekannya menunjukkan kalau individu dengan level DRD2 rendah lebih rentan pada efek kecanduan alcohol.
 “Liabilitas kecanduan yang bertambah dan kerentanan keracunan alcohol yang meningkat akibat level DRD2 yang rendah memperjelas kalau system dopamine adalah target penting untuk penelitian lebih lanjut dalam pencarian pemahaman lebih baik dan perlakuan bagi alkoholisme,” kata Thanos.
 Penelitian ini didukung oleh NIAAA.
Sumber berita: